Vihara Buddhagaya dan Nostalgia Kota Lama: Semarang Bagian 1

Vihara Buddhagaya dan Nostalgia Kota Lama: Semarang Bagian 1

Jika garis hidup seorang manusia ditarik, maka akan nampak titik-titik yang menandai persinggahan-persinggahan selama hidupnya. Titik-titik itu kemudian sambung-menyambung satu sama lain yang pada akhirnya membentuk garis seperti jalur di telapak tangan masing-masing kita.

Hari itu titikku sampai ke Semarang.
Lalu jatuh cinta di sana.
***
Menembus Subuh
Penerbangan paling pagi memaksaku menembus jalanan Makassar yang masih terlalu dingin. Pukul 4 sebelum Subuh kami menembus aspal ke bandara menggunakan sepeda motor. Kami yang itu terdiri dari aku dan Fikar, kawanku sejak kecil bahkan sebelum dia bisa berbicara. Semalam memang dia sudah kutunjuk secara sepihak sebagai pengantar ke bandara.

Sebenarnya sempat kepikiran untuk bawa mobil agar tidak kedinginan di jalan. Namun setelah beberapa pertimbangan, aku akhirnya memutuskan untuk bawa motor saja. Selain lebih praktis, ekonomis, dan parkir lebih gampang, aku tidak punya mobil.

Tolong jangan di-close tab dulu blognya.

Pandu dan Bunsal
Pesawat JT 0801 mendarat dengan mulus di bandara Juanda Surabaya. Transit. Aku duduk dengan tenang dan mengantuk di gate 3 sambil mengisi ulang baterai handphone, menunggu penerbangan lanjutan yang masih lebih sejam lagi. Ingin rasanya berbaring meluruskan badan di kursi, tapi setiap lima menit mbak-mbak penjaga gate mengingatkan para penumpang untuk tidak berbaring.

Dasar tidak berperikemanusiaan.

Dari dalam gate 3 mataku tertuju melihat sosok yang familiar, sedang berjalan cepat dari counter check-in khusus penerbangan lanjutan menuju gate 3. Laki-laki berperawakan kurus dan berwajah bocah-bocah, rambutnya pendek bergelombang yang sepertinya baru saja dia cukur. Seperti biasa Dia nampak menarik. Maksudnya menarik koper kecil yang beroda di belakangnya.

Pandu dan Bunsal
Aku mengenal Pandu (masbocah.com) akhir 2016 tempo hari di Bali. Sementara perempuan berjilbab yang juga resmi menjadi teman baruku itu bernama Mba Muslifa Aseani, blogger dari Lombok. Sama seperti aku dan Pandu, Muslifa Aseani yang lebih dikenal dengan nama Bunsal di internet ini juga peserta Famtrip Blogger Semarang 2018. Penerbangan yang sama ke Semarang.

Kami bercerita banyak hal. Dari cerita yang banyak itu, jelas terbaca kalau Bunsal ini tipikal traveller yang sudah makan asam garam perjalanan. Kontras dengan aku dan Pandu sebagai pemegang rekor masyarakat paling sering nyasar di kota masing-masing. Saking jarangnya keluar rumah.

Mbak-mbak yang tadi melarang penumpang berbaring sekarang memanggil semua penumpang untuk naik pesawat Wings Air tujuan Semarang.

Semarang, Aku Datang
Halo, Semarang!
Matahari tepat di atas kepala saat kami menginjakkan kaki di bandara Ahmad Yani Semarang. Di gerbang kedatangam Panitia Famtrip rupanya telah menunggu dengan sabarnya.

"Kita tunggu rombongan dari Malaysia dulu ya", kata mba panitia yang sampai sekarang aku lupa namanya, sambil memberikan sekotak snack berisi tahu bakso dan genjel rel. Aku yang memang sudah menahan lapar sejak pagi langsung melahap tahu bakso yang ya ampun enaknya.

Makan Siang
Sebenarnya sejak masih di bandara Juanda Surabaya, Mba Bunsal 4 kali menyebut Soto Pak Man sebagai kuliner yang harus kami coba nanti di Semarang.

"Rasanya itu apa ya? Ngangenin pokoknya", kata Mba Bunsal yang membuat aku dan Pandu curiga kalau sebenarnya Soto Pak Man adalah bisnis multi level marketing dan Mba Bunsal ini adalah salah seorang upline di sana.

Makan Siang di Ikan Bakar Cianjur
Sayang sekali prospek mba Bunsal harus gagal karena hari itu kami tidak kebagian mencicipi Soto Pak Man karena jadwal makan siang hari itu di rumah makan Ikan Bakar Cianjur. Kecewa? Oh tentu tidak karena hidangan di sini juga enak sekali. Mohon maaf karena aku tidak bisa memamerkan foto makanannya sebab waktu itu aku sudah kelewat lapar.

Di dalam rumah makan lantai 2, rombongan Blogger Famtrip lainnya sudah berkumpul dan beberapa sudah selesai makan. Selain blogger dan panitia, juga nampak dedek-dedek berwajah segar yang ternyata finalis Denok Kenang Semarang, atau sederhananya Putra Putri Semarang yang akan menemani perjalanan kami hari itu. Mereka nampak rapi dengan kaos polo seragam berwarna putih. Aku yang sejak dari Surabaya cuma melihat Pandu tentu saja bersyukur dengan upgrade ini.

Tertinggal Satu Agenda
Sebagai rombongan terakhir, kami harus pasrah melewatkan satu agenda: Mesjid Agung Jawa Tengah yang sudah rombongan kunjungi pagi tadi. Jujur aku cukup kecewa sebab Mesjid Agung Jawa Tengah ini adalah salah satu tujuan yang sangat ingin aku datangi. Memang sih, aku sudah pernah ke sana di pertengahan tahun 2013 waktu masih kuliah hampir 5 tahun lalu. Namun justru karena itulah, aku ingin ke sana lagi. Sebab bukankah kembali adalah tujuan perpisahan paling sejati?


Vihara Buddhagaya Watugong Semarang
Gerbang Vihara
Kekecewaan itu tidak berlangsung lama. Setiba di gerbang Vihara Buddhagaya aku langsung bersemangat kembali setelah melihat gerbangnya yang megah. Sebelum memasuki gerbang, kita akan disambut oleh Watugong, sebuah batu alam yang secara alami berbentuk gong yang juga secara tidak langsung menjelaskan kepada para pengunjung asal usul nama Watugong itu sendiri.

Watugong Semarang
Sejatinya, komplek Vihara ini adalah tempat beribadah umat Buddha Semarang. Karena keunikan arsitektur yang bercita rasa seni tinggi, vihara ini dibuka untuk umum sebagai tujuan wisata religi. Pengunjung bebas berfoto namun tentu saja harus menjaga sikap yang wajar dan membuka alas kaki di beberapa tempat.

Ini Masih di Semarang?
Gerbang Vihara ini berfungsi seperti portal yang menghubungkan kita dengan tempat lain. Bagaimana tidak, arsitektur khas Tiongkok dan Thailand terasa sangat kental membuat kita seperti tidak sedang berada di Indonesia.

Gedung Dhammasala
Kami beranjak menuju Gedung Dhammasala lantai atas yang fungsi utamanya adalah tempat ibadah. Di dalamnya, duduk patung Buddha setinggi sekitar lima meter yang terbuat dari kuningan

Patung Buddha di dalam Gedung Dhammasala
Sementara, di sebelah kanan dari gerbang masuk berdiri dengan megahnya Pagoda Avalokitesvara. Pagoda ini tingginya 45 meter dan telah ditetapkan sebagai pagoda tertinggi di Indonesia.

Pagoda Avalokitesvara
Dengan tinggi 45 meter itu, tidak ada satu pohon pun di sekeliling yang mampu menutupi pesona pagoda Avalokitesvara.

Sisi Luar - Bawah Pagoda Avalokitesvara
Sisi luar Pagoda ini dihiasi ukiran dengan banyak bentuk dengan makna masing-masing. Sementara di bagian dalam, duduk patung Dewi Kwam Im setinggi 5 meter.

Patung Dewi Kwam Im di dalam Pagoda Avalokitesvara
Keluar dari pagoda, kita akan melihat pohon bodhi yang cukup besar. Di bawah teduhnya pohon ini, duduk bersila patung Budha dikelilingi oleh kain-kain berisi doa yang bergelantungan di ranting-rantingnya.

Patung Budha di bawah pohon bodi
Meskipun tidak beragama Budha, aku merasakan ketenangan di sini. Sesekali angin bertiup menggoyang-goyangkan kain doa. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama, namun karena agenda yang cukup mepet kami harus segera kembali ke bus yang akan mengantarkan kami ke destinasi selanjutnya: Kota Lama Semarang.

Siluman Alien Berfoto Dulu
Yang Tertinggal dari Masa Lalu - Kota Lama Semarang
Aku suka sama arsitektur Semarang yang ke-Belanda-Belanda-an karena memang di sini cukup banyak bangunan peninggalan zaman Belanda. Bus membawa rombongan dari Vihara Budhhagaya menuju masa yang lalu di Kota Lama Semarang.

Salah Satu Bangunan di Kota Lama Semarang
Arsitektur klasik dari gedung-gedung tua dan langit yang mulai jingga menambah manis nostalgia Semarang senja itu. Kami berjalan menyusur jalan-jalan yang menyimpan ceritanya sendiri pada masanya masing-masing.

Pengabadi memori menjadi memori sendiri
Di sepanjang jalan pasar seni banyak barang-barang antik seperti kamera Yashica, koin-koin hingga rupiah lama. Salah satu gerai yang menarik perhatianku adalah gerai buku dengan koleksi buku-buku dan komik tua. Beberapa di antaranya bahkan masih menggunakan ejaan lama.

Semarang Kreatif Galeri
Salah satu produk di Semarang Kreatif Galeri
Semarang rupanya juga adalah kota yang kreatif. Masih di dalam komplek Kota Lama Semarang, kita akan menemui gedung bernama Semarang Kreatif Galeri yang berisi produk-produk khas yang kreatif seperti patung-patung hiasan meja, kemeja batik, hingga tas yang cantik-cantik.

Kemeja Batik di Semarang Kreatif Galeri
Ngomong-ngomong soal batik, di Semarang ini ada batik yang terkenal karena bahan pewarna batik yang digunakan sepenuhnya organik alias non sintesis. Batik dari Kampung Alam Malon, yang akan aku ceritakan di tulisan berikutnya.
***
Malam di Kota Semarang semakin larut. Bus beranjak dari Kota Lama Semarang menuju Hotel New Metro yang ternyata dekat saja. Melaju melewati jalan-jalan di Semarang yang justru makin ramai oleh pengunjung warung angkringan di pinggir jalan. Keinginan untuk mencicipi makanan angkringan itu besar sekali tapi ternyata kalah oleh lelah yang sudah menguasai seluruh tubuh.

Itu aku, di kursi bus paling belakang. Berbaring merapatkan badan ke kursi lalu tidur sebentar. Bus berbelok, merapat ke halaman hotel New Metro. Aku yang sekamar sama Pandu langsung bergegas menuju kamar. Beres-beres, mengecas seluruh perangkat elektronik untuk perjalanan besok lalu rubuh di kasur.

Tidur dengan tanpa aku sadari, telah jatuh cinta pada kota ini.
Vihara Buddhagaya dan Nostalgia Kota Lama: Semarang Bagian 1
4/ 5
Oleh

15 komentar

  1. Belum pernah mampir ke Semarang dan sekarang sedikit menyesal kenapa tidak pernah ke sana. Padahal dulu hampir setiap bulan lewat sana T.T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Penyesalan memang selalu datang belakangan, kalau yang datang di depan namanya pendaftaran. Ehem...

      Deh sayangnya padahal ternyata banyak yang keren-keren di sana.

      Hapus
  2. APAAAAH? KAMU GAK NYOBA SOTO PAK MAN? BALIK KAMU KE SEMARANG!

    BalasHapus
    Balasan
    1. GAAAAAANGG JANGAN GITU, TAR NANTI TAMBAH MENYESAL KA' KEMBALI KA' KE SEMARANG ITU :(

      Hapus
  3. Hahahahahahahaha ..
    Apaaahhhh?

    Ngakak maksimal..eh, bentar, kudu komen yang benar dulu.

    Hahahahahaha ..
    Lah.

    Doh, kan, aku jadi lupa mau komen apaan.
    Ngabisin ketawa dulu saja yak. Hahahahaha ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lah terus komennya yang benar di mana :((

      Hapus
    2. Akogh mampir lagi Tiaaarrrr..

      Mao berburu foto pas lagi di Bali. Untung kamu pasang foto wefie kita.

      Beneran dah, kamu kudu balik ke Semarang, buat nyicipin Soto Pak Man.

      Oia, nyimakin ulang foto-foto di viharanya, keren gilaaaaa. Semoga ada rezeki buat maen ke Lombok yaaaa. Aamiin

      Hapus
  4. Kapan brrkesempatan ke Semarang lagi, cobain jelajah chinatown nya .. keren suasananya.
    Kayak tempoe doloe.

    BalasHapus
  5. Aih sebagai teman seperjuanganmu dalam mencari makan, tidak nuajak ka padahal semarang kampung halaman ku yang lama mi belum pernah kuinjak sejak masih bocah kodong. Rugi ko tyar, rugi tidak ke masjid agungnya. Paadahal cantik sekali di sana apalagi bisa naik ke menara masjidnya. Yakin ka tidak mau loncat pasti dari atas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha justru karena kampungmu harusnya saya yang diajak.

      Iyo sayang sekali nda dapat ka agenda ke sana, terlambat ka' sampe.

      Hapus
  6. Wah ternyata main ke Semarang ya ..
    Baca ini malah mendadak kangen sama Semarang , ah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget, Dotz ternyata Semarang menyenangkan.

      Hapus

Halo! Terima kasih sudah meninggalkan komentar. Mohon maaf untuk sementara, komennya saya moderasi dulu ya karena banyaknya komen spam yang masuk.
EmoticonEmoticon