Yang Jatuh Diam-diam Patah Sendirian

Yang Jatuh Diam-diam Patah Sendirian

Instagram: planetyar
Belakangan ini aku suka menonton serial dokumenter BBC tentang kehidupan alam liar. Contohnya pada hari itu, aku sedang asyik menonton serial berjudul Life Story. Serial berisi enam episode ini menampilkan enam babakan yang dihadapi setiap individu dari Kingdom Animalia dalam satu rentang hidupnya: Langkah Pertama (First Step), Menuju Kedewasaan (Growing Up), Menemukan dan Mempertahankan Rumah (Home), Menunjukkan Dominasi atas Individu Lain (Power), Menemukan Pasangan (Courtship), dan Menjadi Induk (Parenthood). Kemudian semuanya terulang kembali dari awal. Begitu seterusnya.

Episode yang paling menarik perhatianku adalah episode Growing Up. Pada babak ini, setiap individu akan menghadapi satu tantangan yang menjadi titik perpindahan dari masa anak-anak menuju kedewasaan. Seekor rubah arktik harus bertahan di satu musim dingin pertamanya sendirian, seekor hummingbird harus bangun pagi-pagi untuk memenuhi jadwal yang super padat (sounds familiar?), dan cheetah harus berhasil menaklukkan impala di perburuan pertamanya.

Bagaimana dengan manusia?

Ding!
Ding!
Ding!

Itu bukan bunyi lonceng ibu Pengabdi Setan, tapi notifikasi yang bersahut-sahutan dari salah satu grup WhatsApp. Memotong tontonan alam liarku.

"Siapa yang mau ke resepsinya Rahma malam ini?", isi grup yang ramai hari itu.

Oh, ini adalah harinya: Pernikahan Perempuan Penyebab Patah Hati Pertama.
***
Ada banyak penyebab orang bisa jatuh cinta. Paling lumrah adalah jatuh cinta karena kecantikan. Sebagian ada yang jatuh cinta karena kecerdasan, karena penampilan, karena banyak follower untuk panjat sosial, karena banyak kesamaan, atau karena rajin beribadah. Penyebab aku jatuh cinta kepadanya hari itu jauh lebih sederhana: segelas air putih.

Di hari yang sedang mendung itu, kami sedang makan mie bakso beramai-ramai di sela-sela rapat persiapan kegiatan. Duduk bersila melingkari meja berbentuk bundar. Dia di sana, duduk terpisah dua orang dariku, selesai makan lebih dulu karena porsinya sedikit. Dia kemudian berdiri, membawa mangkuk bekas makannya ke dapur, lalu kembali ke meja dengan segelas air putih di tangannya, diletakkan di sampingku. Untukku.

Autopilot, aku memanggilnya, "Rahma, aku sudah bilang kalau aku suka padamu?". Sungguh, kalimat itu terlempar begitu saja. Aku memang sangat menghargai orang yang mau melakukan hal kecil bagi orang lain tanpa diminta. Mendengarku bilang itu dengan ingus yang meleleh dari hidung karena kepedasan, dia senyum setengah tertawa lalu beranjak pergi. Meninggalkan aku yang tanpa entah dia peduli, sudah jatuh hati.

Banyak perempuan yang lebih cantik dari dia. Perempuan itu, kau tahu kulitnya tidak putih seperti putri iklan televisi. Rambutnya juga tidak melambai ketika ditiup angin sebab ia berjilbab. Jilbabnya juga jilbab yang langsung pasang, bukan jilbab yang butuh diputar tujuh kali searah jarum jam di atas kepala. Namun sekali dia tersenyum, seluruh dunia ikut senyum bersamanya. Bunga-bunga bermekaran dan mendung langsung hilang karena minder. Sungguh kalau orang mati bisa melihatnya senyum, pasti almarhum akan bangkit kembali, cuma untuk kena serangan jantung lalu mati lagi.
 
Sejak air dalam gelas itu menyentuh meja makan, bisa ditebak aku jatuh hati sendirian. Iya, mencintai orang diam-diam sepertinya menjadi satu-satunya bakatku. Ini sudah terjadi berkali-kali pada perempuan sebelum dia. Andai waktu itu aku memakai trik Dilan waktu mendekati Milea: meramal akan ketemu di kantin, menuliskannya puisi-puisi, atau menghadiahi buku Teka Teki Silang yang sudah diisi, pasti sekarang aku tidak akan merasa sendirian sekarang di gedung resepsi pernikahan yang banyak orang ini.

"Ayo naik salaman terus foto", teman-teman menghambur flash back membawaku kembali ke kenyataan. Kami naik ke panggung. Aku pernah satu kali pergi mendaki dengan tingkat kecuraman yang cukup tinggi. Berjalan kaki tujuh jam lamanya sebelum sampai ke tujuan untuk mendapati kaki yang keseleo kemudian. Namun ketahuilah, perjalanan tujuh jam yang naik turun itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan langkah menaiki panggung pelaminan hari itu.
Aku berusaha mempertahankan seluruh sendi yang sudah goyah ke mana-mana. Dengan tegar menyalami kedua orangtua mempelai, menyalami Rahma, menyalami suaminya, lalu menghajar suaminya habis-habisan sampai berdarah-darah di dalam kepalaku.
"Selamat ya, Rahma", ucapku padanya. Kurasakan suaraku bergetar. Getir.

Ia tersenyum. Menunjukkan padaku senyuman pembangkit orang mati itu lagi. Dari banyak senyuman yang pernah dia lempar, itu adalah senyumnya paling lebar. Ia bahagia. Senyuman itu pula, menjelma menjadi titik balik. Mengubah patah hati menjadi penerimaan.

Bukankah melihat orang yang kita cintai bahagia adalah tujuan dari jatuh cinta itu sendiri?
 
Kami lalu berfoto bersama rombongan, kemudian berjalan beriringan turun dari panggung. Meninggalkan Rahma dan melepas semua ingatan tentang dia. Termasuk ingatan tentang sore di pelataran kampus waktu itu.

"Rahma, kamu pacaran sama Parman?", Parman tentu saja adalah nama samaran sekaligus nama tukang bakso dekat rumahku yang pernah digrebek karena digosipkan menggunakan boraks sebagai pengawet.

Belakangan itu memang dia digosipkan sama Parman. Orang asing yang baru saja datang. Gosip itu tidak datang sembarangan. Mereka sering berduaan. Kami pernah melihat mereka makan sama-sama di pinggir tebing saat acara perkemahan. Itu adalah kali pertamanya aku berharap ada orang jatuh dari tebing.

"Dekat iya", jawabnya. Semua orang bilang mereka sudah pacaran, tapi kata Rahma hari itu belum.

"Kenapa bertanya begitu?". Ia balik bertanya. Aku diam. Menatap matanya dalam, lalu hidungnya, lalu mata kakinya.

"Kenapa?", kali ini pertanyaannya serius. Aku menghela napas panjang sampai hampir lupa menghembusnya.

"Masa sih kamu ga tahu?", maksudku masa' sih kamu ga tahu kalau aku suka sama kamu?

Mendengar itu, gantian kali ini gilirannya menatapku dalam-dalam. "Kenapa kamu ga pernah bilang?" adalah hal terakhir yang aku ingat tentangnya hari itu.

Di tengah ramainya orang yang lalu lalang di depan pelaminan, aku mengenal satu di antaranya. Adik perempuan Rahma datang menghampiri. Kami memang sudah lama kenal. Tanpa komando berdiri di sampingku melihat kakaknya yang sudah jadi milik orang lain. Kemudian di antara semua keramaian itu dia bilang, "Suaminya badannya juga kecil kok kak sama kayak kamu". Aku tertawa. "Iya, batal deh kita iparan". Aku membalas. Ia memang selalu tahu kalau aku suka sama kakaknya, entah tahu dari mana. Barangkali karena aku menulis, "Salam kenal, adik ipar" waktu menerima friend requestnya di social media.

Kita mudah menemui cerita seperti ini di manapun, tapi ending-nya akan selalu sama. Mereka yang jatuh diam-diam akhirnya akan patah sendirian.

Di perjalanan pulang, nafasku jadi terasa lebih lapang. Pundakku naik sedikit, pertanda beban yang sedemikian beratnya baru saja jatuh dari sana. Pulang dari nikahan orang yang (pernah) kita suka ternyata membawa efek positif bagi kita. Ia mengajarkan kita tentang bentuk paling murni dari penerimaan.

Barangkali untuk menjadi dewasa, manusia tidak harus seperti rubah arktik yang harus melalui musim dingin sendirian, juga tidak harus seperti cheetah yang harus berhasil menangkap impala di perburuan.

Manusia cuma perlu menghadapi patah hati pertamanya.
Yang Jatuh Diam-diam Patah Sendirian
4/ 5
Oleh

29 komentar

  1. Saya pengen ketawa tapi ini sedih sekaliii hahahahhaa... tapi toss dulu lah, geng ditinggal nikah, mari rapatkan barisan 😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ternyata senasib -___-

      Hapus
    2. oohh kak tari pernah ditinggal nikah juga? wkwkwk :D

      btw tulisannya bagus kak tyar, mau nangis, tapi malu-malu, mau ketawa tapui kasihan, hehe :)

      Hapus
    3. Hahahaha jangan diketawai tulisan ini, Ai. Kena kak tari juga bela - dia kan lebih rapuh dariku.

      Hapus
  2. Ya ampun tyar, cerita sedih ini bikin aku senyum2 sendiri. Pemilihan katamu apik sekali. Dan aku jadi ingat sama stand up comedy Raditya Dika, sewaktu dia diminta main gitar di nikahan mantan. Awalnya dia bilang berat tapi setelah melakukannya serasa ada beban yang hilang. Hahaha lagi2 ujung2nya disambung2in ma Raditya Dika 😆😆

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha padahal cerita sedih loh, kak harusnya nangis bukan senyum-senyum.

      Oh iya pernah nonton materi stand up itu juga haha lucu banget.

      Hapus
  3. Ini tergolong kesedihan yang boleh ditertawakan, kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukankah pada akhirnya kesedihan hari ini untuk ditertawakan kemudian hari?

      *kibas poni*

      Hapus
  4. Baru kalini baca tulisanmu... Menjadi salahsatu alasan untuk jatuhcinta padamu ��.. Untung sudah ada noura, jadi nda patah sendirianka *kemudian dikandatto' suami*

    Gudlak beibeeh ������

    BalasHapus
  5. kalau meneurutku ini cinta yang kang Adit ceritakan adalah cinta platonik. monggo d search kang pengertiannya hahahaha

    begitulah jika kita jatuh cinta terhadap mahluk kang, kita harus mulai belajar menembus cinta yang kita hentikan pada seorang wanita saja, kita harus mencintai Sang Pencipta sang pujaan hati. Disana ada banyak pelajar termsuk keikhlasan yang sebenarnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. brb googling dulu

      *manggut-manggut baca komen Tofik yang bijak banget entah kerasukan apa*

      Hapus
  6. Sepertinya nonton serial BBC itu seru ya, Mas. Terlebih untuk menemani liburan di akhir tahun ini.

    Silent aja, Mas itu notifikasi dari grup WA nya, berisik nih lagi tidur. Jujur aku jadi melek gini, tadi habis tidur karena kecapean. Bangun-bangun langsung baca, asupan bukan sembarang asupan, dari tulisan ini aku juga bisa belajar.

    Ada juga yang jatuh cinta karena terbiasa, terbiasa bersama, terbiasa chattingan, sampai-sampai menghiraukan yang lain, di kontaknya cuma ada doi, sudah seperti makanan saja, kalau nggak chat sehari rasanya lemas dan tak semangat. Sehingga terjadilah buih-buih percintaan. Dan mereka jadian. Haha. #appain sih

    Setidaknya perasaan yang dipendam dalam-dalam sudah diungkapkan ya, Mas. Hal itu yang membuat lega, seakan beban di pundak hilang. Andai nggak diungkapkan dan tahu-tahu udah nikahan. Lebih nyesek lagi, ambiyar tuh idup. Tapi ya, itu perlu waktu memang untuk pulih.

    Aku pribadi pernah digituin, tapi nggak sampe ditinggal nikah sih. Tapi ya itu, tetap nyesek sodara. Ah, sedih kalau di ceritain disini mah.

    Selagi aku follow blog ini, in shaa Allah nggak ketinggalan post barunya ya, Mas. Btw, ditunggu nih post jalan-jalannya lagi, Mas Tyar..he

    BalasHapus
  7. Kalau postinganku kemarin hanya sedikit kisah dari kekonyolan ABG yg levelnya tingkat RT, tapi kamu.. Ini levelnya udah level tingkat kecamatan

    Aku g tau gimana rasanya, tapi membayangkan ibarat yg kamu gunakan, lebih berat melangkahkan kaki ke pelaminan, nafas memburu, berusaha tersenyum, dan berjabat tangan lalu bersuara, selamat atas pernikahanmu.

    Tapi kamu hebat, gentle, berani datang. Soalnya kalau g gitu kita sebagai manusia g akan naik level kedewasaannya. Yah emang g perlu sampe kayak kehidupan hewan2, karena manusia itu kompleks. Masa kita haru dilalui dengan sakit hati, ini yg akan membangun jiwa kita lebih legowo dan siap menghadapi masalah yg lebih berat. Semangat! Pasti nanti ada yg lebih baik buat kamu!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi ini patah hari level kecamatan yang sudah disahkan sama pak camat.

      Berani datang karena emang ga ada yang tau aku suka sama dia jadi ga ada beban hahaha.

      Hapus
  8. Sangat sederhana sekali awal kisah ini dimulai, segelas air putih. Tapi perjalanannya sepertinya begitu rumit sampai akhirnya dia menjadi milik orang lain. Tapi... Klo pun emang sama lo sekarang, lo udah siap nikah? Sepertinya si Rahma gak mau pacaran lama2 deh. Pas lo tanya aja dia bilang belum pacaran. FIX. dia pengen langsung nikah. Apa lo siap saat ini untuk menikah? Hehe

    BalasHapus
  9. Simpulanku setelah membaca ini berulang-ulang adalah: pada akhirnya setiap tragedi datang untuk ditertawakan kemudian ya kak tyar? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yap benar sekalihhhh hahahaha.

      'Tragedi hari ini adalah bahan tertawaan esok hari' - cocok jadi caption Instagram yang bijak.

      Hapus
  10. kalau alam liar, national geographic nggak ada yang bisa ngalahin. Hmmm, jatuh cinta sendirian itu memang menyenangkan. Kita tau endingnya bakal sakit, tapi tetap kita lakukan karena seru dan punya sensasi tersendiri. Dan kalau nggak mau dibawa sedih, ya dibawa senang aja..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya meskipun seru tapi ga ada niatku untuk mengulanginya lagi hahah.

      Kalo documentary sih aku lebih suka BBC, gambar dan musiknya dramatis

      Hapus
  11. Semudah itu kau jatuh cinta, tapi patah hati bisa begitu sulit ya. Emang nasib orang-orang yang mencintai diam-diam ya harus siap tersakiti, tak ada yang tahu rasa cintanya, tak ada yang tahu seberapa dalam dia tersakiti.

    Tapi seperti kata pepatah, banyak jalan menuju Roma. Tak dapat kakaknya, adiknya pun boleh lah. #lahgitu ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha saran yang baik,
      *brb modusin adeknya*

      Hapus
  12. Jika orang2 menyebut epiolog dengan segelas air putih adalah remeh, mungkin mereka belum pernah merasakan jatuh cinta sendirian. Sampai mereka tahu pun, belum tentu mereka peduli. Setela mereka rasaka, barula mereka terdiam~

    BalasHapus
  13. Ini fiksi. Ini fiksi.. hahahaha. Ini bagian dari rekayasa bab V untuk menambah daftar pustaka. *lalu disambit pakai gelas*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Besok ketemu di kampus, bawa lembar pengesahan dan revisi yang saya kasih hahahahaha

      Hapus
  14. Awalnya saya mau ketawa baca beginian, tapi memang ini kenyataannya soalnya saya juga mengalaminya dan saya merasa betapa sulitnya melihat orang yang kita sukai bukan menjadi pendamping kita. Tapi jujur saya akui, ada perasaan lega ketika bisa ikhlas menerima. Dan saya yakin pasti abang tyar akan dapat pasangan yang jauh lebih baik dari ini, percayalah. Ini pesan dari orang yang sama sakit hatinya.

    BalasHapus

Halo! Terima kasih sudah meninggalkan komentar. Mohon maaf untuk sementara, komennya saya moderasi dulu ya karena banyaknya komen spam yang masuk.
EmoticonEmoticon