Malam Minggu Sama Tyar 1: Header-header yang Pernah Menghiasi Blog

Selamat malam Minggu, Aliens. Selamat datang di postingan Malam Minggu Sama Tyar, atau yang lebih gampangnya disingkat MalMingSamTy. Maaf mengecewakan, tapi tidak ada yang spesial di rubrik kali ini. Melintang-melinting di dunia blog, belakangan ini saya menyadari bahwa hampir semua blogger-blogger yang saya kenal punya agenda di blog mereka masing-masing yang diposkan secara rutin dan saya tidak punya agenda semacam itu.

Belakangan ini, saya juga mikir sudah semakin malas menulis di blog entah apa alasannya, beda sama dulu waktu pertama kali mulai ngeblog dan tidak punya komputer tapi postingannya rajin (meskipun postingannya tidak jelas). Sekarang sudah punya laptop dan modem, tapi menulis di blognya makin malas. Di rubrik ini, saya ingin bercerita hal-hal tidak penting soal saya. Iya, soal saya. Kalau mau, sila klik tombol close di sudut kanan atas, tapi kalau tidak, mari berteman :)

Jadi, komunitas blogger Makassar AngingMammiri.org baru-baru ini punya agenda baru, semacam saling me-review blog. Nah, blog Planetyar.com dapat giliran pertama untuk di review oleh Mbak Rahmah di blognya. Kalau mau baca review penuhnya, kalian bisa klik di sini.

Kalau kalian membacanya, Mbak Rahmah mengomentari blog saya yang tidak punya header. Iya, template blog saya memang sedang bermasalah. Template blog ini memang tidak mendukung untuk ditambahkan header. Dulu ada semacam popular post sebagai headernya, tapi entah kenapa, mungkin skripnya rusak jadi untuk sementara saya sembunyikan.

Ngomong-ngomong soal header blog, ini adalah beberapa header blog yang pernah saya pakai sebagai identitas:
1. Header Planktonemon.blogspot.com

Header Pertama Planktonemon
Kalau kalian membaca blog ini di awal-awal, kalian pasti familiar sama header super lebar yang satu ini. Kalau tidak salah header ini dipakai tahun 2008-2010, pokoknya awal-awal ngeblog. Dibikinkan sama Fithrah. Iya, dulu nama blog saya Planktonemon.blogspot.com, tagline headenya Imagination Encircles The World, kalau tidak salah itu kutipan dari Albert Einstein. Paling tidak, itu yang om Google bilang.

2. Ganti ke Kertasium.blogspot.com


Blog ini memang sering sekali ganti-ganti nama dan labil. Ini sekitaran tahun 2010-2011 kalau tidak salah. Taglinenya masih sama, yang beda cuma lebarnya yang menyesuaikan sama template yang tidak full lebar lagi.

3. Planet Kertasium


Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, blog ini memang labil. Setelah Port of Kertasium. blog ini namanya diganti jadi Planet Kertasium. Header ini juga kalau tidak salah tahun 2010-2011. Pastinya kapan, saya sudah lupa.

Untuk pertama kalinya, blog ini saya bikinkan header sendiri tanpa bantuan Fithrah. Dengan kemapuan desain saya yang membahana dengan software Photoscape, lahirnya mahakarya berupa header yang kalau dibagikan gratispun ini, pasti tidak ada yang mau ambil.

4. Planet Kertasium dan Ihkwal Penghuninya


Lagi-lagi dengan kemampuan desain grafis saya yang membahana, saya kembali bikin header sendiri. Taglinenya menjadi Planet Kertasium dan Ikhwal Penghuninya (yang tampan belaka). Melihat dari headernya, jelas sekali kalau saya alay. Mungkin waktu itu saya kerasukan setan alien yang kabur dari Area 51 sampai header blog saya jadi dipenuhi koloni alien seperti itu. Kalau header ini dibikin waktu umur saya 21, berarti tahun 2011.

5. Planet Kertasium versi Fithrah


Fithrah akhirnya kembali dan menyelamatkan desain blog ini dari senutuhan tanganku sendiri. Mungkin dia iba melihat tampilan header blog ini sepeninggalnya. Jadilah header yang paling saya suka ini, yang waktu itu bisa di-klik di beberapa bagian.

Yah begitulah, sepertinya Fithrah memang satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan blog ini dari kejahatan pemiliknya sendiri. Barangkali kalau blog ini hidup dan bisa punya perasaan, dia mungkin lebih senang disentuh sama Fithrah dari pada sama saya

Sampai jumpa di malam Minggu berikutnya, i hope this tidak membuatmu bosan :)

(Cerpen) Kedai Kopi Temaram Berwarna Oranye

"Kemarin dia dan keluarganya datang ke rumah. Orangtuaku bilang iya".
***
Percakapan kami sore itu berlangsung singkat. Kopi hitam di cangkir bening yang baru dipesannya masih mengepul. Belum diaduk. Dibiarkan saja uap panasnya menari di temaram lampu berwarna oranye. Sesekali melayang mendekati mata perempuan itu. Ada sungai yang hendak tumpah di sana.

Ada dua hal yang belum berubah sejak awal kami berpacaran. Satu: dia masih suka kopi, dua: aku masih benci kopi.

Dita nama perempuan itu. Seperti kalian, kami juga sering bertengkar. Pertengkaran paling kuingat selain perihal keputusanku kuliah di luar kota, adalah pertengkaran perihal kopi.

Aku ingat sewaktu pertama kali main ke rumahnya, dia membuatkan aku secangkir kopi. Diseduh dengan teknik yang aku tidak bisa mengulang namanya. Warna kopinya hitam pekat. Oh iya, aku belum pernah meminum kopi sebelumnya. Jadi, hari itu selain aku pertama kali main ke rumahnya, aku juga pertama kali minum kopi.

Dita memang lahir dari keluarga kopi. Ayah, kakeknya, dan kakeknya lagi telah turun temurun menjadi pengusaha kopi di kabupaten Tana Toraja, provinsi Sulawesi Selatan.

Aku meraih cangkir kopi yang Dita sajikan. Dita memandangku sambil tersenyum manis sekali. Aku hirup aroma kopinya. Harum. Sementara itu, Dita menunggu reaksi yang akan kuberikan ketika mencicipi kopi racikannya. Harapanku, aku akan menyesap kopinya dengan elegan, lalu sambil tersenyum, aku akan bilang ke Dita, "Makasih, Dit. Ini adalah miniman paling enak yang pernah mampir ke lidah dan tenggorokanku". Lalu Dita akan tersipu-sipu, membalas senyumanku, dan kami akan menghabiskan malam Minggu itu dengan senyum-senyuman.

Seandainya kalian ada di sana, kalian akan melihat wajah Dita yang kesal bukan buatan karena aku hampir memuntahkan kopinya. Kopi adalah minuman paling pahit yang pernah mampir ke lidah dan tenggorokanku.

Rasa kopi buatku tidak lebih dari rasa obat kaplet yang dilarutkan dengan air panas. Sejak hari itu, aku membenci kopi. Sejak hari itu pula, Dita punya cara sendiri mengerjaiku kalau dia marah atau cemburu. Dia akan membuatkan aku secangkir kopi tanpa gula dan memaksa aku untuk menghabiskannya baru aku boleh pulang. Semakin marah dia, semakin pahit kopinya. Kopinya paling pahit adalah malam ketika aku bilang aku lulus di universitas luar kota.

Dita bukan satu-satunya yang gelisah waktu itu. Aku pun sama. Tapi bagiku, keluar dari kota ini dan belajar di kota lain akan memberikan pengalaman yang lebih. Kami sadar hubungan cinta abege kami tidak boleh menghalangi cita-cita. Hubungan kami juga tidak boleh kalah oleh jarak.

"Rindu itu kayak kopi buat aku," Kami kembali ke kafe temaram berwarna oranye tempat kami sedang mengobrol sekarang. Dita memecah hening yang canggung di antara aku dan dia.
"Kalau aku rindu sama kamu, aku akan meracik kopi yang persis aku bikinkan buat kamu pas pertama kali main ke rumah."
"Yang aku hampir muntah itu?"
Dita ketawa. Aku juga. Tapi kami berdua tahu, tawa kami hari itu sudah beda.

"Rindu itu pahit, sama kayak kopi. Satu-satunya cara menghadapi rindu adalah dengan menikmatinya. Aku menikmati kopi supaya aku selalu ingat agar aku selalu menikmati rindu yang selalu buat kamu."

"Kamu selalu lebih dewasa dari aku, Dit." Kataku, Dita senyum. Sejurus kemudian senyumnya pudar.
"Kemarin dia dan keluarganya datang ke rumah. Orangtuaku sudah bilang bilang iya".

Orang yang dia maksud adalah anak lelaki kerabat ayahnya. Anak laki-laki yang sudah bilang ke orangtua Dita bahwa dia mencintai Dita dan telah siap menikahinya.

Aku dan Dita sudah membicarakan ini sebelumnya beberapa kali lewat telepon. Setelah empat semester aku kuliah di kota lain, ada orang lain yang hadir di kehidupan kami. Anak kerabat ayah Dita akan datang melamarnya. Orangtua Dita tahu aku dan Dita masih berpacaran. Tapi bagi mereka, aku belum bisa berjanji. Aku masih mahasiswa semester lima yang belum tahu kapan lulusnya dan belum tahu setelah lulus kuliah mau bikin apa. Kalah telak sama si anak-kerabat-ayah-Dita-pewaris-perusahaan-kopi.

Aku takut berjanji macam-macam ke Dita dan keluarganya.

2 tahun akhirnya aku kembali ke kota ini untuk mengisi liburan semester. Bertemu Dita. Memerdekakan kerinduan yang sudah kami tahan dua tahun lamanya dengan topik Dita yang akan segera menikah dengan orang lain. Pahit memang.

"Lucu ya, Dit?" kataku tersenyum kecut.
"Lucu gimana?" Dita akhirnya memandang mataku.
"Beberapa orang menikah dengan orang yang dicintainya, beberapa lagi menikah dengan orang yang dicintai orangtuanya."
Dita senyum lagi. Dipandanginya mataku dalam-dalam.
"Aku akan belajar mencintainya, kayak kamu juga harus belajar menikmati kopi".

Aku geming. Dita lalu berdiri dari tempat duduknya. Pamit pulang duluan. Ada banyak hal yang harus disiapkan katanya. Aku menjawab dengan anggukan dan senyum kecil. Dita membalas senyumanku seraya beranjak pergi.

Percakapan kami sore itu berlangsung singkat. Kopi hitam di cangkir bening yang baru dipesannya masih mengepul. Belum diaduk. Aku memandangi cangkir yang ditinggal Dita itu sebentar, pelan-pelan meraihnya, mengaduknya, lalu menghirup aromanya.

Harum.