#KisahKKN: Pemberangkatan
Kalau ada lelaki berumur 21 tahun yang belum terbiasa mengepak barang sebelum bepergian, maka saya itulah orangnya. Kawan, harap mafhum. Saya tidak terbiasa pergi jauh. Tidak terbiasa travelling seperti kebanyakan orang lain. Maka pada sehari sebelum keberangkatan itu, saya tidak tahu mau melakukan apa. Baju, celana, buku-buku, semuanya masih ada di lemari dan belum dipindahkan ke dalam koper. Dan oh, ini juga pertama kalinya saya bepergian dengan koper. Elite juga rasanya bepergian dengan koper.
Sehari sebelum keberangkatan mengikuti Kuliah Kerja Nyata itu, saya belum tahu mau melakukan apa. Teman-teman saya yang lain sudah pada sampai di poskonya masing-masing. Posko di Kabupaten Enrekang diberangkatkan terakhir, jadi tidak usah berharap banyak kalau besok ketika pemberangkatan, akan ada temanmu yang menemani dan mengantar, mereka semua sudah pergi duluan. Sudah sampai duluan di posko masing-masing.
Sampai matahari sudah kembali ke peraduan, saya sama sekali belum mengepak barang. Sehabis Isya saya malah menyempatkan diri dulu ke rumah teman SMA saya, si Ani yang mengundang datang ke rumahnya untuk syukuran wisuda. Ani itu teman saya di SMA, juga sama-sama anggota PMR, kecil badannya, cempreng suaranya.
Pukul sembilan malam, saya pamit pada Ani, dan kawan-kawan lain. Pamit pulang, dan pamit untuk berangkat KKN esok hari.
Sesampai di rumah betapa kagetnya, koper sudah tertutup rapi, baju-baju, pakaian, perlengkapan mandi, shalat, dan buku-buku sudah pindah semua ke dalamnya. Ajaib. Lebih ajaibnya lagi, di semua perlengkapan sudah tertulis nama saya di sana: TIAR. Di semua perlengkapan dan pakaian, tanpa terkecuali.
"Supaya tidak tertukar", kata ibu. Oh, rupanya ibu yang mengepak.
Sehari sebelum keberangkatan mengikuti Kuliah Kerja Nyata itu, saya belum tahu mau melakukan apa. Teman-teman saya yang lain sudah pada sampai di poskonya masing-masing. Posko di Kabupaten Enrekang diberangkatkan terakhir, jadi tidak usah berharap banyak kalau besok ketika pemberangkatan, akan ada temanmu yang menemani dan mengantar, mereka semua sudah pergi duluan. Sudah sampai duluan di posko masing-masing.
Sampai matahari sudah kembali ke peraduan, saya sama sekali belum mengepak barang. Sehabis Isya saya malah menyempatkan diri dulu ke rumah teman SMA saya, si Ani yang mengundang datang ke rumahnya untuk syukuran wisuda. Ani itu teman saya di SMA, juga sama-sama anggota PMR, kecil badannya, cempreng suaranya.
Pukul sembilan malam, saya pamit pada Ani, dan kawan-kawan lain. Pamit pulang, dan pamit untuk berangkat KKN esok hari.
Sesampai di rumah betapa kagetnya, koper sudah tertutup rapi, baju-baju, pakaian, perlengkapan mandi, shalat, dan buku-buku sudah pindah semua ke dalamnya. Ajaib. Lebih ajaibnya lagi, di semua perlengkapan sudah tertulis nama saya di sana: TIAR. Di semua perlengkapan dan pakaian, tanpa terkecuali.
"Supaya tidak tertukar", kata ibu. Oh, rupanya ibu yang mengepak.
Artefak KKN yang masih tersimpan rapi |
***
Maka besok pagi kami sudah harus berangkat. Sebuah koper berukuran sedang dan ransel sudah dibawa serta. Saya pamit pada adik-adik, ayah, serta ibu. Sebuah pelukan tidak lupa diberikan pada ibu, sebuah pelukan yang sudah tidak saya berikan selama bertahun-tahun lamanya.
Saya diantar ayah ke kampus, ke lokasi pemberangkatan. Di sana sudah ada ratusan, bahkan mungkin ribuan peserta KKN lain yang diantar keluarga masing-masing. Mesin-mesin truk tentara sudah mulai dipanaskan. Matahari pelan-pelan meninggi. Kampus kami hari itu riuh bak terminal pemberangkatan. Saya sudah di dalam bak truk, duduk di tengah bersama mahasiswa-mahasiswa lain sebab bangku sudah penuh. Truk juga sudah penuh.
Di luar bapak-bapak tentara sedang apel dan berdoa, lalu satu persatu masuk dan duduk di bangku supir. Suara mesin truk semakin menderu, sebuah mobil tentara melesat ke depan memimpin iring-iringan, pelan-pelan ban truk mulai berputar. Truk menuju keluar. Keluarga-keluarga kami melambai riuh.