(Late Post) Makassar International Writers Festival 2014

Susah untuk jadi tidak norak kalau mengikuti event keren ini. Tahun lalu, saya cuma dapat event penutupan dan itu adalah satu-satunya rangkaian Makassar International Writers Festival (MIWF) yang saya ikuti setelah empat tahun dilaksanakan di kota ini. Tahun ini saya membuat lompatan peningkatan yang cukup signifikan: Ikut acara pembukaan.

Lihatlah saya waktu itu, dengan penuh percaya diri mengambil kursi paling depan yang menyebabkan saya langsung ditegur oleh panitia karena rupanya kursi paling depan itu sudah direparasi. Apa sih itu istilahnya? Yang sudah dipesan itu, apa namanya? Renovasi? Ah. Itulah pokoknya *serius lupa*.

Oh iya, untuk kalian yang belum tahu, Event ini bernama Makassar International Writers Festival. Sebuah perayaan tahunan, sebuah festival untuk merasakan sastra, puisi, dan berbagai macam literasi. Festival tahunan yang menghadirkan penulis-penulis nasional dan internasional untuk merayakan dan berbagi.

Susah untuk tidak jadi norak karena akhirya saya bisa ikut acara pembukaan. Panggungnya megah sungguh, dengan tiga buah layar besar dan lampu yang terang benderang nyala bergantian, ditambah dengan musik tradisional dari pakkacapi (semacam gitar kecil tradisional) dan gendang, aih. Pokoknya malam itu, Benteng Fort Rotterdam meriah sekali.

Acara dibuka dengan penampilan tarian adat Toraja yang namanya saya lupa. Tarian ini diperagakan oleh penari yang tergabung di komunitas atau asosiasi yang saya juga tidak tahu namanya. Lalu apa yang saya tahu? Aku cuma tahu cara merindukanmu. Yang jelas, tarian itu diperagakan lincah sekali, padahal yang memperagakannya itu orang-orang dari 11 negara berbeda. Ada dari Jepang dan Swiss kalau saya tidak salah ingat.

Malam ke dua diisi dengan pembacaan dramatik kisah Pangeran Diponegoro yang apik sekali oleh rombongan Landung Simatupang. Pertunjukan yang bertajuk, "Aku Dipenegoro" ini adalah gambaran biografi Pangeran Diponegoro. Diiringi tarian, nyanyian, musik, pembacaan dramatik makin terasa magis dari adegan ke adegan. Terutama sewaktu Landung Simatupang menunjuk ke salah satu ruangan Fort Rotterdam ketika pembacaan sampai pada pengasingan Pangeran Diponegoro ke benteng ini.

"Di sinilah rumahku, di Fort Rotterdam
Di sinilah rumahku, di Makassar"

Bait itu menutup pembacaan dramatik ini. Persis ketika saya mengira pementasan sudah bubar, tiba-tiba seseorang berbaju putih melangkah ke panggung dengan memegang tongkat yang diikat pita berwarna merah putih. Dengan langkah perlahan ia mengetuk-ngetuk panggung serupa seorang buta yang sedang memeriksa jalan. Ia mengangkat tongkatnya, memukulkan ke depan, mengayunkan ke kiri lalu ke kanan memeragakan gerakan perkelahian.

Sejurus kemudian pukulan-pukulan dari tongkatnya semakin banyak dan cepat. Semakin keras, sesekali ia berhenti sejenak lalu memukul lagi, semakin ia memukul, semakin dramatis pertunjukan itu. Gerakannya makin lincah, kini ia tidak lagi memukul, ia berguling, berbaring, lalu berguling lagi. Pukulannya semakin keras namun tiba-tiba ia menjatuhkan diri, ia coba berdiri namun kakinya bergetar, pandangan matanya yang tadi garang kini takut, dipegangnya kuat-kuat tongkat untuk berdiri dengan susah payah.

"Oh, dia sedang berperang dan kalah!", kataku dalam hati. Aku sepakat dengan diriku sendiri  bahwa adegan itu adalah adegan ketika Pangeran Diponegoro kalah lalu ditangkap oleh pihak VOC (Belanda).

Foto dulu sama @ndigun supaya eksis
"Punggungmu jalan setapak
dan aku tak mengenakan sepatu.
Kakiku tertusuk ranting
peninggalan masa lalumu.
Lalu luka ialah pepohonan
yang tiba-tiba tumbuh
di halaman dadaku.
Rindang sekali.

O, ada sungai di matamu

aku tak bisa berenang"
- Andi Gunawan

Hari terakhir, saya mengikuti sesi puisi dan peluncuran buku puisi Hap-nya Andi Gunawan. Sesi ini diisi oleh tentu saja penulisnya, Ndigun dan Aan Mansyur yang juga dikenal sebagai hurufkecil. Saya duduk di belakang karena terlambat.

Ada satu perihal soal puisi Andi Gunawan yang membuat saya suka. Pilihan katanya, menurut saya begitu sederhana tapi ngena, termasuk salah satu puisinya berjudul Pergi Berbelanja yang ia bacakan di pada saat penutupan. Puisinya begitu dalam lalu di bait-bait terakhir kau akan tertawa perihal ular tangga. Puisinya bisa kalian baca di sini.

Penutupan berlangsung meriah, meskipun sempat terpotong beberapa kali karena hujan yang tiba-tiba datang.

Dibikinkan gambar di Instagram segala sama si Fitrah Amalina
Apalagi yang menyenangkan? Oh, tentu saja yang paling menyenangkan adalah akhirnya bisa bertemu dengan beberapa teman-teman blog, akhirnya bisa ketemu meskipun cuma sebentar sama si Awal Hidayat sama si Fitrah Amalina setelah kenalan lewat blog.

Di sini juga ketemu sama si Nunu Cumi yang datang sama Amma Nasir yang nantinya menyebabkan pula saya akhirnya ketemu dengan salah satu blogger favorit yang tulisannya selalu keren, si Azure Azalea itu.



Ada siapa lagi? Oh, ada si Isma Ariyani. Si penyuka senja yang baru datang selepas senja menjelang petang. Katanya sudah ingin datang dari siang tapi baru kesampaian jam segitu.

Narsis sama Isma
Aduh, menyenangkan sekali. Saya sampai tidak tahu bagaimana menutup postingan ini.

Begitulah, kegiatan penutupan berlangsung meriah. Lampu-lampu dari panggung seolah ingin ingin memerdekakan langit dari hujan yang bisa turun sewaktu-waktu kembali. Memotong perayaan itu untuk dilanjutkan lagi, dipotong lagi, lalu dilanjutkan lagi. Menjadikan kursi-kursi basah sehingga harus dibalik ketika hujan turun tetes demi tetes.

Hujan saja permainkan ki', apalagi... (Kata si Azure yang sampai kedengaran ke kursiku). Ah, sudahlah.

Kunjungi blog Fitrah Amalina - di sini
Kunjungi blog Awal Hidayat - di sini
Kunjungi blog Isma Ariyani - di sini
Kunjungi blog Rahma Nasir - di sini
Kunjungi blog Azure Azalea - di sini

Date In Heritage?


Seminggu sebelumnya, yaitu saat aku, Utun, dan Rani sedang menjadi panitia lomba mewarnai anak TK dan SD, maksudku lomba mewarnai yang diikuti oleh anak TK dan SD, sudah janji sama Rani bahwa kami akan membantunya jadi panitia kegiatan bertajuk Date In Heritage. Itu, kalau Kalian mau tahu adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengenalkan peninggalan dan hal-hal lain tentang Makassar dan kerajaan Gowa yang dibungkus dengan tema kencan.
Peserta yang sudah mendaftar akan dibuat saling berpasangan, satu orang cowok dan satu lagi perempuan. Mudah-mudahan mereka belum saling kenal. Kemudian mereka akan ditugaskan memecahkan teka-teki yang membawa mereka ke sebuah lokasi (kami menyebutnya pos). Ketika sampai di pos, mereka akan diberikan pertanyaan dan mereka boleh menjawabnya jika mau dapat hadiah.

Aku datang setelah sebelumnya SMS-an sama Utun yang tidak jadi ikut. Makan dulu biar tidak lapar. Lalu berangkat ke sana, ke Balla Lompoa yang letaknya di luar kota Makassar, di Kabupaten Gowa. Balla Lompoa, yang saya tahu diambil dari kata bahasa Makassar, Balla yang berarti rumah dan Lompo yang berarti besar. Di dalam bahasa Makassar, jika ada akhiran "a" pada setiap kata, biasanya berarti "yang", jadi secara harfiah Balla Lompoa berati rumah yang besar.
(Percayalah, itu adalah rumah terbesar yang pernah aku lihat)

Sesampai di sana, aku sadar aku salah kostum. Aku pakai baju merah yang ternyata sudah disepakai bahwa peserta diharuskan mengenakan baju merah. Untungnya hari itu aku bawa baju ganti. Pantas saja sebelum berangkat, Rani SMS, "Kamu tidak pakai baju merah kan?". Ternyata itu maksudnya. Hampir saja aku dikira peserta.

Peserta Date In Heritage
Ada lima pos yang dibagikan, sesuai kesepakatan, pos ini dirahasiakan kepada peserta. Biar nanti mereka cari sendiri sesuai petunjuk. Pos itu antara lain makam Sultan Hasanuddin, mesjid tua Katangka, Makam Syech Yusuf, Makam Karaeng Patingalloang, dan Balla Lompoa sendiri. Aku kebagian di posko Makam Karaeng Patingalloang. Berdua di sana. Sama cowok. Iya, sama cowok.

Ketika aba-aba mulai sudah dimulai(?), kami panitia juga langsung bergegas ke posko masing-masing. Para peserta sudah dibagi menjadi delapan pasangan.

Makam Karaeng Patingalloang terletak di kompleks makam Arung Palakka. Aku ingin kalian tahu bahwa itu adalah pertama kali aku mendatangi makam tokoh-tokoh yang cuma aku kenal nama. Aku sempatkan berziarah ke makam Arung Palakka terlebih dulu. Di dalamnya ada bekas lilin berwarna merah. Dingin juga karena makamnya terbuat dari batu yang tidak saya tahu batu apa.

Dan oh, kalau kalian tanya siapa itu Arung Palakka, saya tidak bisa menjawab banyak cari saja di Google. Google baik dan banyak tahu.

Saya merasa asing dengan semua tokoh yang ada di makam itu, kecuali Karaeng Patingalloang yang secara acak menjadi posku untuk bertugas. Kawanku, Ahlul selalu bercerita banyak tentang tokoh ini. Biar kuceritakan sedikit padamu juga. Karaeng Patingalloang adalah seorang cendekiawan asal kerajaan Gowa. Ia menguasai banyak bahasa asing, termasuk di antaranya bahasa Perancis, Yunani, Belanda, Arab, dan lain-lain. Kalau tidak salah, ia menguasai 17 bahasa! Kata Ahlul lagi, Karaeng Patingalloang adalah Galileo-nya Makassar. Kabarnya, dia punya teropong yang dibuat oleh Galileo!

Cukup lama saya berduaan sama kawan baruku itu, yang ditugaskan sama-sama menjaga pos Karaeng Patingalloang, sampai akhirnya pasangan pertama datang.

"Selamat datang, Teman-teman. Kalian pasangan pertama yang tiba di pos ini!", kataku menyambut mereka. Di depan makam.
"YEAH!", mereka semangat. Aku juga.
"Saya akan  memberikan kalian pertanyaan yang harus kalian jawab untuk maju ke pos berikutnya. Kalian boleh menggunakan media apa saja untuk mencari jawabannya. Boleh tanya ke pengelola, atau tanya ke google, atau kalau punya ilmu lebih bisa tanya ke penghuni-penghuni kompleks makam ini", kataku ke mereka. Pertanyaanpun aku kirimkan lewat LINE, karena begitulah ketentuannya. Lumayan untuk menambah teman juga.


Awas jangan diganggu! Mereka lagi double date!
Begitulah kurang lebih selama delapan kali. Menyenangkan kecuali peserta belum datang. Aku jadi mengkhayal sendiri di kompleks makam itu sambil sesekali melihat ke arah Gedung Miring Phinishi Universitas Negeri Makassar yang bisa terlihat dari situ.

Senang? Iya. Aku senang. Menemui orang-orang baru di makam bukan pengalaman yang bisa aku rasakan setiap hari. Juga senang karena pengetahuanku tentang Makassar dan sejarahnya jadi bertambah. Tentang Karaeng Patingalloang, sang cendekiawan sejak muda itu. Aku senang meskipun di kompleks makam itu tidak ada wi-fi seperti yang kami harapkan sejak awal supaya hemat kuota, senang meskipun cuma sebentar.

Mudah-mudahan kegiatan seru seperti ini bisa lebih dikenal daripada tawurannya. Beginilah Makassar, beginilah kota kami, yang di TV sering diberitakan kalau bukan demo ya tawuran. Tidak apa-apa kalau kamu juga mengira Makassar seperti itu. Kalau kalian mau, datanglah. Nanti kutemani makan coto atau konro, jalan-jalan sambil nge-sunset di pantai Losari kalau mau, cari oleh-oleh di jalan Somba Opu kalau mau, atau kalau kamu sedang di Makassar, besok kita ke Makassar International Writers Festival di Benteng Fort Rotterdam. Ada banyak penulis yang akan datang ke sana.