A Planet Day Out: Mencari Bidadari

Punya kota yang berbatasan langsung dengan laut beginilah akibatnya. Panas. Seperti Makassar siang itu, panasnya sampai bikin kepala jadi pusing. Penat. Belum lagi ditambah urusan skripsiku yang belum kelar urusannya. Kalau dihitung, umur skripsiku sekarang sudah hampir enam bulan. Enam bulan jadi bayang-bayang yang menghantui, menggeluti, menggerayangi.

Tiba-tiba handphoneku berbunyi pertanda ada SMS masuk, "Rani ajak ke jalan-jalan ke Rammang-rammang. Siap-siap ya.". Itu SMSnya dari Utari. Teman kelasku waktu SMA dulu. Teman kelasku waktu SMP juga.

Rani yang baru saja menyelesaikan kuliah di Bandung kini kembali pulang ke Makassar. Menjadikan dia seperti tokoh dalam lagu kangen band, "Kekasih yang dulu hilang. Kini dia t'lah kembali pulang." Rani, dan Andika kuduga memang cocok sekali. Rani mengajak jalan-jalan ke Rammang-rammang. Aku sendiri belum pernah ke sana, yang kudengar di sana ada sungai dan pegunungan karts (kapur), dan yang paling gila, menurut mitosnya di sana ada Telaga Bidadari.

Kami berkumpul pagi-pagi di rumah Rani. Di sana ada Rani tentu saja, Utari, Gusti, Nurul, dan Aya, teman Rani yang datang dari Jakarta, dan Fuad yang dilahirkan untuk menjadi supir pada hari itu. Perjalanan butuh waktu satu jam lebih, itu karena kami menyempatkan diri untuk kesasar dulu. Kami belum ada yang pernah ke sana. Setelah melalui perjalanan yang cukup meliuk-liuk, kami akhirnya sampai.

Tandanya Kita sudah dekat. Photo by @JieCess
Kita disambut sama gunung karts yang epic! Tapi kita tidak boleh kehilangan fokus! Tujuan kita ke sini sederhana, "Kita cari telaga bidadari itu, Kita sembunyikan selendang bidadarinya, kita nikahi bidadarinya!".

Perjalanan mencari telaga bidadari ternyata tidak semudah yang diperkirakan. Kami harus mendaki gunung dan lewati lembah dulu. Untungnya, mata kami yang tiap hari berhadapan dengan layar komputer ini disuguhi pemandangan-pemandangan yang iya, keren.

Photo by @jiecess

Petunjuk pertama kami temukan dari jembatan dan sungai yang membelah. Sungai=air. Telaga=air. Telaga bidadari itu, pasti ada di sekitar sini. Tapi yang paling penting dulu, kita butuh perahu. Aku dan Fuad didaulat untuk mencari perahu yang bisa disewa untuk mengarungi sungai ini. Syaratnya yang diberikan cukup sulit, perahunya harus yang kuat karena harus membawa 7 orang, harus aerodinamis melawan arus angin, harus fleksibel karena sungai yang meliuk-liuk, tapi yang paling penting di antara semuanya: harus murah.

Yes, It Is Photoshopped. Photo by @JieCess
Perahu yang kami temukan adalah sebuah perahu kecil bermesin motor. Kata yang punya, ini cukup untuk memuat 7 orang. Ditambah 3 pengendali perahunya berarti jadi 10 orang. Semoga perahu kecil ini memang kuat. Karena kalau tidak....

Perjalanan dimulai! Naikkan layar, Angkat jangkar. Perahu akan segera berangkat!

Kalian tanya aku di mana? Aku ada di belakang. Bukan, bukan yang pakai kacamata itu. Itu Aya. Aku ada di belakang Fuad yang ambil foto ini.
Iya, aku duduk di belakang. Di dekat mesin perahu yang berisiknya minta ampun. Ditambah lagi dengan cipratan air dari baling-baling mesinnya. Syahdu.

Kapten Jek Sparrow
Perjalanan mencari telaga bidadari ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Kurang lebih 15 menit di atas perahu, akhirnya kami sampai di sebuah tempat yang mewah. Daratan yang dikelilingi gunung karts yang mewah dan megah.

Karena tidak juga ada tanda-tanda tentang telaga bidadari dan dari tadi kita cuma berputar-putar di antara sungai dan gunung karts, aku memutuskan untuk menanyakannya pada alam. Dulu, nenek moyang kita ketika tidak tahu jalan mana yang harus dituju, mereka akan berkomunikasi dengan dewata. Dewata akan mengirimkan mereka petunjuk-petunjuk yang akan membawa mereka ke jalan yang mereka tuju. Aku mencoba untuk melakukan hal yang sama.

Berkomunikasi dengan dewata

Sementara yang lain sedang asyik menikmati pemandangan di sekitar, aku mencoba berkonsentrasi, mencari jawaban dari para dewata. Kurang lebih 4 bulan lamanya bermeditasi. aku akhirnya menemukan bisikan dari mereka. Bunyinya kurang lebih, "Tyar, Kamu harus breakdance".

Siluman
Setelah memenuhi permintaan dewata yang tidak biasa itu, secara ajaib aku menemukan sebuah petunjuk. Aku tersadar bahwa kita telah salah jalan. Seperti posisi kaki dan kepala yang terbalik pada foto di atas, sepertinya dewata ingin mengatakan bahwa rombongan kami sebenarnya salah jalan. Kami harus ke tempat semula. Kami telah salah jalan. Tapi apa daya, kami sudah di sini. Satu-satunya cara untuk menikmatinya adalah dengan menikmatinya saja.

No komen
Setelah puas menikmati pemandangan di sekitar, barulah rombongan kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mencari telaga bidadari yang misterius itu. Di kepalaku sudah terbayang bidadari-bidadari yang sedang mandi itu. Ah, pasti cantik sekali. Semoga bisa dibawa pulang satu.

Perjalanan berlanjut, kami kembali ke tempat semula. Bermodal petunjuk dari dewata dan banyak tanya jawab dengan warga sekitar, kami menemukan titik terang di mana telaga bidadari itu. Yang perlu kami lakukan hanya mengikuti bebatuan yang telah diatur secara teratur, melewati jembatan, genangan, dan sedikit memanjat, akhirnya kami belum sampai. Ah?


We did It! We found it! Photo by @jiecess
Kami menemukannya! Telaga bidadari yang kelihatan cantik dengan sentuhan photoshop! Sebuah telaga air jernih yang dijepit bebatuan kapur dan pepohonan. Tanpa menunggu waktu lagi, aku langsung melompat, melepas sepatu dan merendam kaki yang sudah lelah jalan dari pagi. Oh.

Semriwing
Tapi di mana bidadarinya? Di mana bidadari yang sedang mandi itu? Yang mau kita curi selendangnya itu? Yang akan kita nikahi itu? Di mana mereka? Apa mereka sudah selesai mandi karena kami kesiangan? Atau mereka tidak mandi di sini hari ini? Apa ini? Apa itu?

Ketek yang bersih adalah ketek yang menawan
Lalu kami pulang, kembali ke kehidupan kami masing-masing di kota. Bergabung dengan jutaan penghuni yang sibuk. Kesibukan yang juga sudah jadi kehidupan kami. Kehidupan kita semua.

Makassar, 26 Nopember 2013
Tadi hujan sekarang reda.