Rara

Rara adalah junior sekaligus teman saya. Pertemuan kami dimulai ketika Rara masih anak SMP kelas 1 waktu itu, sedangkan saya masih anak SMA yang bibit ketampanannya sudah mulai terlihat. Bibit ketampanan yang dimaksud adalah jerawat yang tumbuh, biji demi biji.

Seiring berjalannya waktu, Rara mulai tumbuh dari seorang anak perempuan yang lugu menjadi perempuan yang beranjak dewasa waktu demi waktu. Seperti anak perempuan yang beranjak dewasa lainnya, Rara pun mulai mengenal cinta.

Kemarin, saya sudah minta izin kepada yang bersangkutan untuk menuliskan sesuatu tentang dia di blog ini. Dengan terpaksa, dia mengiyakan. Dia sepertinya tahu sesuatu yang buruk akan terjadi padanya setelah postingan ini diterbitkan.

Kita mulai dengan perkenalan. Saya akan menyebut anak perempuan ini dengan nama samaran Rara, nama aslinya Zela. Punya blog juga dia. Di sini.

Belakangan ini, Rara sering galau. Menurut teori Personality Plus, kepribadian melankolis memang rentan galau. Setiap melihat awan yang bergerak pelan-pelan, jadi galau. Setiap lihat ban mobil belakang yang berusaha mengejar ban depan tapi tidak berhasil, jadi galau. Setiap melihat baling-baling kipas angin yang tidak pernah bisa terbang, galau. Lihat iklan Curcuma Plus, galau (Oke, ini asli ngarang). Kegalauan ini tertuang dalam beberapa postingan terakhir di blognya. Oh.

Suatu hari kami sedang duduk di koridor sekolah. Itu adalah suatu sore yang cerah. Kami duduk mengobrol, dan tiba-tiba datanglah Hamjik menawarkan minuman kola dengan es batu.

"Ra, lebih dingin mana es batu ini atau LDR?"
"Ra, lebih dingin mana jauh karena jarak, atau dekat tapi tidak dianggap?"
"Ra, lebih dingin mana?"
***
Oh. Rara yang sering melakukan praktek Pertolongan Pertama (PP) kini tersangkut di PP dalam pengertian yang lain: Persoalan Perasaan. Rara yang biasa melakukan LDR (Lihat, Dengar, Rasakan) saat mempraktekkan pertolongan pertama pada korban tidak sadar, kini harus dihadapkan pada kondisi LDR dalam pengertian lain. Long Distance Relationship. Hubungan Jarak Jauh. Rara yang biasa melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru) kini harus merasakan RJP dalam pengertian lain: Rindu berJarak Pulau. Rara yang biasa latihan melakukan Bantuan Hidup Dasar (BHD) kini harus menghadapi BHD dalam pengertian lain bersama seseorang: Bersama Hadapi Derita.
 ***
Bagi beberapa pasangan, LDR merupakan sesuatu yang harus dihadapi untuk melajutkan hubungan ke level yang lebih tinggi. Tidak jarang, LDR menjadi ujian tertinggi, tersulit, ibaratnya raja terakhir dalam permainan video game. Komunikasi menjadi penting. Masalahnya, bagaimana jika dalam kasus ini, tidak boleh ada komunikasi antarkeduanya dalam bentuk apapun?

Tiba-tiba, saya teringat sesuatu yang pernah saya tuliskan tahun 2012 yang lalu:
***
Seribu Hari
Bagaimana aku bisa melupakanmu sedangkan kita pernah punya janji untuk saling merindukan dan tidak menyalahkan jarak dan waktu? Bukankah rindu kita terlalu besar untuk diganggu oleh hal sekecil-kecil itu?
Dengar, Aku telah merindukanmu lebih dari seribu hari, dan aku siap merindukanmu lebih lama lagi!

Bagaimana aku bisa meninggalkanmu sedangkan kita masih punya janji untuk saling mengisi dan tidak akan menyalahkan kilometer dan hari? Bukankah rasa kita terlalu dalam untuk ditenggelamkan oleh hal sedangkal itu?
Dengar, Aku telah merindukanmu lebih dari seribu hari, dan siap merindukanmu lebih lama lagi!

Bagaimana aku bisa tidak memedulikan sedangkan kita punya janji yang masih disimpan dan tidak pernah menyalahkan perpisahan? Bukankah dengan begini kita jadi bisa menikmati rindu lebih lama dan pertemuan akan jadi lebih istimewa?
Dengar, Aku telah merindukanmu lebih dari seribu hari, dan siap merindukanmu lebih lama lagi.

Apa kamu mau kita membunuh jarak dan waktu agar tetap dekat? Bukankah dengan begitu rindu tidak akan pernah terobati, malah akan mati dan tidak akan pernah tumbuh lagi.
Dengar, Barangkali kita cuma perlu menunggu sedikit lebih lama lagi, barangkali seribu hari.

Bagaimana kita bisa saling melupakan sedangkan masing-masing dari kita telah sepakat untuk memugar kenangan yang pernah kita ciptakan? Kita telah saling merindukan selama seribu hari, dan siap merindukan lebih lama lagi.

Tiba-tiba detak jam dinding di kamarku berhenti
***
Makassar, Agustus 2013
Semoga Rara Tidak Baca