Semoga Ada

Semoga Ada

Sebagai blogger, saya merasa gagal. Berbulan-bulan blog ini saya biarkan kosong. Maafkan saya.

Ada macam-macam gambaran yang muncul di kepala ketika menghadiri sebuah acara pernikahan. Itu lihat! Ada sepasang mempelai yang berdiri di atas panggung menyalami satu per satu tamu. Ada sepasang senyum yang susah lepas dari keduanya. Sepasang senyuman yang malu-malu ku kira. Sepasang senyuman yang sudah lama bersarang tapi baru saja bisa terbang selepas itu, memenuhi seisi ruangan.

Di sana ada saya, di sudut kiri gedung aula resepsi pernikahan. Ini, saya dibangunkan tadi pagi oleh ibu saya, minta ditemani ke acara resepsi keluarga katanya. Saya bisa saja menolak, tapi urusannya akan panjang. Jadi saya jadi saja ke sana, pakai batik cokelat, pakai motor juga. Ibu saya bonceng di belakang. Hampir kecelakaan sewaktu di perjalanan. Itu karena ada sepasang perempuan yang tidak melihat-lihat sewaktu keluar dari belokan ke jalan raya.

Jika ada remaja stadium akhir yang masih tidak mengenal banyak anggota keluarga besar dan kerabat, maka saya akan menjadi salah satunya. Sampai di gedung, saya cuma celingak-celinguk cari kursi, lalu duduk, lalu buka handphone, lalu main game. Sementara ibu saya sudah berkeliling gedung, berukumpul dengan kerabat. Bagi saya, bertemu dengan orang baru selalu jadi mimpi buruk, biarpun itu keluarga sendiri. Alhasil salah tingkah sudah bukan lagi hal yang aneh, misalnya sewaktu dikenalkan sama orang yang lebih tua, saya punya kebiasaan sendiri, salami, cium tangannya. Siapapun itu.

"Tyar, ini Om"
Senyum. Cium tangan om.
"Tyar, ini Tente"
Senyum. Cium tangan tante.
"Tyar, silahkan makan"
Senyum. Cium tangan resepsionis.
Selalu begitu.

Tetapi oh, pernikahan itu selalu magis. Apalagi makanannya. Apalagi hidangannya.

Itu saya, sudah berjalan ke arah parkiran. Ada dua anak kecil di sana. Satunya laki-laki, satunya lagi perempuan. Kurang lebih umurnya 7 atau 8 tahun.

"Kak, motornya yang mana?", si anak perempuan bertanya. Oh, mereka jaga parkiran rupanya. Mata saya tertegun melihat kedua anak yang baru saya lihat rupanya ini.
"Yang itu!", kata saya seraya menunjuk sebuah motor besar agak tua yang diparkir paling tengah, padahal itu bukan motor saya.
"Ha?! Tidak mungkin, Kak!", tertawa dia.
"Tidak mungkin bagaimana?"
"Itu bukan motornya kakak! Yang punya itu orangtua, tadi saya lihat waktu diparkir", tawanya makin keras.
"Kalau begitu yang ini saja!", sekali lagi menunjuk motor orang.
"Kak! Yang benar! Masa' boleh dipilih begitu?", katanya. Sambil senyum saya dipukulinya di lengan. Senyumnya manis sekali.
"Yang ini saya kalau begitu" Kali ini benar, motor saya.

Kemudian saya pulang, meninggalkan mereka berdua, meninggalkan mereka berdua. Mereka berdua malam ini tidur di mana? Ada rumahkah? Ada kakak laki-laki untuk ditemani bercanda kah? Ada ayah ibu yang menyelimuti kalau dinginkah?