Catatan Efek Rumah Kaca

Catatan Efek Rumah Kaca

Efek Rumah Kaca di #CHAMBERSYES2011. Photo by Opu

30 Desember 2012 adalah malam yang untuk pertama kalinya saya ogah-ogahan untuk menonton konser Efek Rumah Kaca. Itu, kalau kalian belum tahu adalah band Indonesia yang paling saya suka. Saya ogah-ogahan karena setahu saya untuk ikut konsernya, kita harus ada undangan untuk bisa masuk, dan sampai jam empat sore, saya belum juga dapat undangan yang katanya bisa diperoleh di Chambers, tapi dengan berbelanja dulu katanya. Sementara hujan yang terus saja menumpahkan kerinduannya pada bumi yang belum juga reda, dan lelah sehabis mengedit film semalam penuh di studio kampus. Kemudian di dalam kamar, saya diam.

Saya SMS teman-teman yang katanya juga mau nonton, semuanya sudah pada punya undangan. Hujan masam.

Hingga pukul delapan malam saya belum bersiap, tak apalah. Masih bisa nonton lain kali, Efek Rumah Kaca pasti akan datang lagi tahun depan. Akhirnya saya di sana, di kamar kost-annya Putra, teman sejurusan saya di Kampus. Nonton Ari dan Atto yang sedang mengadu Manchester United dan Inter Milan di Playstation 3 yang boleh kami rental barusan, sedangkan Putra selaku tuan kamar berangkat membelikan kami nasi uduk. Baik sekali.

“Apa kabar, Cholil?”, Sudah nyanyikah kamu?

Dan Rooney mencetak Gol, Ari tertawa. Atto tidak. Sejurus kemudian handphone saya bergetar. Namun hanya saya yang peduli, Ari dan Atto tidak.

“Datang mi, Bro. Street concert ji. Tidak usah pakai undangan”. Oh, itu SMS dari Opu, kawan saya dari Fakultas Hukum yang tadi sore saya SMS tanya undangan. Tanpa pikir panjang lagi, saya masuk kamar mandi, bebersih, kemudian dengan segera menunggu nasi uduk datang. Mau Makan dulu.

Saya sadar kondisi pakaian saya malam itu. Lembab dan tidak nyaman. Sampai saya memutuskan untuk pulang dulu ke rumah, sekedar ganti pakaian, dan mengobrol sebentar dengan bokap yang heran karena saya mengenakan jeans yang robek lututnya. Padahal itu bukan untuk gaya-gayaan. Itu memang karena saya suka mengenakan jeans itu sebelum robek.

“Nada-nada yang minor, lagu perselingkuhan”

Hampir pukul sembilan malam, Motor saya baru melaju disebabkan saya yang baru melajunya. Ditemani macet dan hujan yang menyebabkan saya mengumpat dalam hati dan basah diri. Sial. Tapi tak apa, toh konsernya juga di jalan. Sampai di sana akan basah juga, jika memang harus basah sekarang. Niat mengenakan jas hujan saya urungkan. Motor kembali saya lajukan. Dia menurut saja. Melaju.

“Kita memang benar-benar melayu. Suka mendayu-dayu”

Motor saya parkir di sebelah kanan jalan, bergabung dengan motor-motor lain. Kemudian menuju spot. Satu lagu dimainkan oleh suara lelaki yang saya tahu, itu bukan suaranya Cholil, iya. Efek Rumah Kaca belum tampil. Masih sempat.

Di sana saya ketemu Tian, teman seangkatan saya juga. Pacarnya si Alvidha. Dia menunjukkan saya keberadaan Alvidha dengan menunjuk ke depan, di sana ada Alvidha, Titah, dan anak Komunikasi lain yang lebih senior. Alvidha sendiri, Titah digandeng pacarnya, dan terbesit pikiran bagaimana kalau saya juga melakukan hal yang sama. Ah, tapi tidak mungkin. Kasihan nanti pacarnya Titah bisa marah.

 “Kita sambut, Efek Rumah Kaca”, MC-nya teriak lewat speaker yang tidak bisa didengar orang di Jakarta. Oh iya, di sana juga ada Arif yang datang dengan Opu, malam itu dia mengenakan batik. Salah kostum katanya, bawa kamera juga, tapi tidak ada baterainya. Ampun.

Akbar menyeruak ke luar. Menuju drum. Duduk di sana. Disusul kemudian lelaki berbaju garis-garis merah, menuju bass. Ah, lelaki berambut mangkok itu pastilah ingin menggantikan posisi Adrian. Dari situ saya kemudian kecewa. Iya, saya, datang ke sana ingin menonton ERK tampil lengkap. Akbar di drum, Cholil di gitar, dan Adrian di Bass. Ah! Tapi malah Adrian tidak datang, tidak bisa datang, belum bisa datang karena semacam penyakit yang menyerang penglihatannya.

“Sebelah mataku, yang mampu melihat bercak adalah sebuah warna-warna mempesona”

Dengan Adrian. Desember 2009
Saya jadi ingat waktu bertemu dengan Adrian tempo hari, untuk membaca SMS di handphone Sony Ericcson-nya, dia butuh lup, kaca pembesar untuk membaca. Padahal Adrian, menurut saya pribadi adalah personel mereka yang paling ramah. Malam itu Adrian belum datang. Saya melihat lagi si lelaki rambut mangkok. Tubuhnya kurus. Memetik bass mengiringi petikan gitar Cholil yang tinggi. Cholil mulai bernyanyi. Saya juga. Penonton yang lain juga, Alvidha tidak. Barangkali tidak hapal lagunya.

Satu dua lagu. Sesekali saya mengintip di sana ada Uthie dan Thyka, di sebelah kanan. Seperti biasa Uthie rambutnya diikat ekor kuda, dan Thyka berjilbab. Tiga empat lagu. Suasana memanas, meskipun hujan makin deras. Penonton lain berjingkrak. Saya mati gaya. Mulai tidak nyaman dengan suasana yang makin ramai.

Saya memang tidak terlalu suka dengan keramaian, apalagi berada di tengah-tengahnya. Apalagi harus berdiri. Ada semacam rasa tidak nyaman dan jantung berdebar cepat. Ah, lelaki macam apa ini! Sejurus kemudian saya sudah keluar dari tenda setelah sebelumnya bersalaman dengan seorang laki-laki bertopi yang akrab menyapa, dan  sampai sekarang saya belum tahu siapa dia. Ah, ampun!

Iya, akhirnya saya menikmati konser malam itu dari luar tenda, dengan barangkali ratusan orang yang pada sombong karena tidak menyapa saya yang sendirian malam itu. Sayangnya, panggung malam itu memang dibuat rendah, sehingga memang hanya bisa dinikmati dengan jelas dengan berdiri maksimal dua meter di depannya, Sehingga juga di tempat saya dan Alvidha tadi, hanya bisa memandang dahi para personelnya saja. Tanggung. Apa boleh buat lagi, saya sudah di luar. Menikmati suara Cholil yang khas bercampur dengan suara penonton yang pada fals.

Saya pulang sebelum konser selesai, menghindari macet. Di jalan pulang saya menyempatkan berharap untuk kesembuhan Adrian Yunan Faisal. Iya, bassist ERK, karena menurut telinga saya, suara Cholil yang tinggi, terdengar kurang seimbang tanpa backing vokal dari Adrian yang rendah namun keras.

Namun Efek Rumah Kaca malam itu, seperti biasa, tetap saja keren. Tetap saja berwarna. Karena Efek Rumah Kaca beda, dan akan selalu punya pedengarnya.

Terimakasih, Efek Rumah Kaca. Terimakasih, Chambers. Cepatlah sembuh, Adrian.
Catatan Efek Rumah Kaca
4/ 5
Oleh

2 komentar

Halo! Terima kasih sudah meninggalkan komentar. Mohon maaf untuk sementara, komennya saya moderasi dulu ya karena banyaknya komen spam yang masuk.
EmoticonEmoticon