(Cerpennya Alien) Menembak

(Cerpennya Alien) Menembak

"Sudahlah, Jangan banyak pikir, Kawan. Nyatakan perasaan mu padanya!", Nasi goreng Ari belum lagi habis dikunyahnya sudah mencoba menceramahi ku, menyebabkan satu dua biji nasinya tumpah ke meja.

Aku diam.

"Kawan, cinta itu itu tidak cuma untuk disimpan di sini, di hati. Tapi juga untuk diucapkan di sini, di mulut. Kemudian dinyatakan di sini, di perbuatan", Serius, kalimatnya barusan mengingatkanku pada ustad yang mengajarkan tentang niat puasa waktu Ramadhan tahun kemarin.

Aku masih diam.

Ari menghabiskan suap terakhir nasi gorengnya lalu meneguk satu dua tegukanteh poci nutri sari, kemudian memperbaiki posisi duduknya, kali ini menghadap tepat ke arahku.

"Mau kau habiskan masa mudamu hanya dengan mengagumi seorang perempuan saja begitu?"

"Sudahlah, jangan ikut campur!" Aku mengelak.

"Aku bukan ikut campur, Kawan. Tapi permasalahan perasaanmu ini sudah jadi beban buatku. Aku kasihan padamu. Ini tahun ketiga kau menyimpan perasaanmu padanya. Mau kau tunggu sampai berapa tahun lagi? Sampai dia diambil orang?"

Tiba-tiba sebuah sedotan melayang ke wajah Ari, mengenai tepat hidungnya. Itu, aku yang melemparnya.

"Jangan bicara sembarangan! Kalau dia diambil orang, bisa mati aku dibuatnya."

"Jadi tunggu apalagi?", Kali ini aku mendengarnya baik-baik.

"Sudah, tembak saja?!", Intonasinya agak keras, ibu kantin yang tadi diam kini memperhatikan kami berdua.

"Tembak?", tanyaku heran. Denyut nadiku mendadak cepat.

"Iya! Begitu cara orang muda melakukannya. Tembak di sini, di hatinya! Yakin padaku, dia akan jadi milikmu!"

"Ah, mana aku berani begitu!", Itu air di gelas yang kupegang sudah habis, tapi masih kucoba meminumnya.

"Itu masalahmu! Kau belum lagi mencoba sudah menyerah duluan! Sampai kau sarjana, sampai kau kerja, Kawan. Tidak akan kau ketemu jodohmu kalau begini. Cinta itu, Kawan. Selain butuh kelembutan, butuh keberanian juga!".

Lagi-lagi kucoba meneguk air di gelasku yang sudah kosong.

"Tembak dia besok!"

***

Oh, Kawan. Kuberitahu padamu. Aku lemah dalam hal ini, hal yang apa itu orang muda menyebutnya? Cinta. Jadi jangan tanyakan pengalamanku soal hal yang satu ini. Beda dengan Ari yang pengalamannya sudah seperti garam di laut. Sudah banyak sekali. Aku diam, sejurus aku melihat ke langit-langit kamar. Ada sepasang laron si sana, berkejar-kejar dengan lampu. Sedang pacaran barangkali. Membuatku cemburu saja.

Aku raih telepon genggam yang tergeletak di atas meja, menelepon nomor seseorang di sana, mengatur janji.

***

Pagi-pagi sekali aku sudah ada di kampus, menunggu seseorang. Seseorang yang aku dan Ari bicarakan kemarin. Seseorang yang ceritanya, akan menjadi milikku hari ini. Aku duduk di koridor sambil melihat ke taman, taman yang nantinya akan menjadi saksi sebuah sejarah yang besar.

Dia datang, menepati janji yang kami buat tadi malam, dan seperti biasa, hari ini dia - cantik. Dia berjalan sambil melihat ke kiri lalu kanan, dan ke kiri lagi. Mencariku. Sedangkan aku sendiri sudah sembunyi di belakang sebuah tiang besar di lantai dua.

***

Aku duduk mengeluarkan senjata rahasia yang tidak akan bisa ditolaknya. Aku melihatnya sekali lagi, dia masih bingung di sana. Di antara mahasiswa-mahasiswa lain yang belum banyak lalu lalang.

Keringatku bercucuran, denyut nadiku sekarang tajam-tajam. Kuyakinkan diriku untuk terakhir kali dengan menarik satu nafas panjang.

Kukeluarkan senapan angin yang kupinjam dari pamanku semalam. Lengkap dengan kekeran di atasnya. Dari kekeran ini kulihat dia semakin cantik dan dekat sekali. Kubidik tepat ke arah jantungnya. Aku telah siap menembak perempuan pertamaku.
*dor*

Rabu yang Menjadikan Terlambat

Selamat pagi, Aliens. Mula-mula, biarkanlah saya, saya yang tampan ini untuk sebelum memulai postingan berikut mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha untuk seluruh manusia yang ada di mukanya bumi!

Well, pagi ini saya mengawali hari dengan sedikit kurang baik. Itu adalah pagi ketika saya dimarahi ibu, atau nyokap kalau orang muda menyebutnya. Saya dimarahi karena itu, setelah dibangunkan malah beranjak tidur lagi di depan TV padahal ibu sudah siap berangkat sekolah. Iya, di umurnya yang tidak lagi anak muda, ibu saya masih rajin ke sekolah. Itu dikarenakan karena ibu saya, selain ibu rumah tangga, juga seorang ibu guru.

Itu adalah pagi ketika setelah dibangunkan dua kali, saya juga melanjutkan tidurnya dua kali juga. Wajar kalau ibu saya marah. Akhirnya saya segera mengambil jaket dan jins kemudian menyalakan motor. Maksud saya menyalakan bukan berarti membuat motor saya menjadi bersinar seperti lampu, Maksudnya supaya hidup, supaya aktif.

Padahal saya ada kuliah jam delapan pagi juga, yang itu artinya, kalau tidak langsung ke kampus setelah mengantar ibu, maka dapat dipastikan akan terlambat ke kampusnya. Dan, oh. Karena itu ibu saya sudah buru-buru sekali dan memang dosen yang masuk pagi ini biasanya datang satu jam lebih lama, maka akhirnya saya memutuskan untuk mengantar ibu saya saja dulu. Pulangnya baru mandi kalau memang mau.

Jam dinding yang selalu ada di dindingpun kompak, itu sudah jam delapan ketika saya sampai rumah setelah mengantar dan menyempatkan diri mampir ke Alfamart untuk beli sekaleng susu. Rencana saya pagi ini memang sempurna sekali. Pertama, kita minum susu, kemudian internetan sebentar, dan lalu mandi dan berangkat ke kampus. Perencanaan yang memang sempurna sekali.



Loh? Mengapa Ada Alstrojo? Kalau kalian mau tahu, Alstrojo itu adalah teman sekelas saya di kampus. Dan, oh. Lihat! Dia menulis satu nama di Tweetnya. Siapa? Iya, Bu Jeni. Saya tulis satu kali lagi biar dramatis: Bu Jeni.

Dan Oh, ternyata yang masuk itu bukan dosen yang sudah saya perhitungkan sejak awal! Yang masuk itu Bu Jeni! Dan kalau kalian mau tahu, Bu Jeni adalah dosen Komunikasi paling disiplin meskipun dia adalah satu-satunya perempuan yang mendosen di jurusan ini.

Kemudian saya memutuskan untuk mencari tebing dan loncat sampai saya sadar di sini tidak ada tebing. Jadilah kini saya di kamar. Tidak masuk kuliah, belum mandi, dan ditemani listrik yang padam entah sejak jam berapa.
Sigh.